PEMIKIRAN SYEKH MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS DAN FARUQI
  1. SYEKH MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
  2. Riwayat Hidup Syed Naquid Al-Attas
     Syed naquid Al-Attas lahir pada tangal 5 september 1931 di bogor (jawa barat). Pendidikan yang pernah dilalui oleh Al-Attas yaituUniversitas Malaysia dan School of oriental and African studies di universitas London.
Prestasi yang pernah diraih oleh Al-Attas:
  1. Ia menerapkan kajian melayu dan melestarikan bahasa melayu serta mendalami islamisasi di Indonesia dan Malaysia.
  2. Dai mendirikan universitas kebangsan Malaysia (UKM)
  3. Dia mendirikan universitas inters internasional di Malaysia.
  4. Menetapkan konsep universitas internasional yaitu international institute of Islamic though (IIIT) dengan islamisasi disiplin.
  5. Mendirikan lembaga pengajaran dan penelitian yang khusus pada pemikiran islam
  6. Mendirikan international Institute Islamic though and civilization (ISTAC).
  1. Konsep Pendidikan Syekh Muhammad Naquib Al-Attas
  2. Definisi Pendidikan Islam
     Dalam kaca mata Al-Attas, pendidikan merupakan proses penanaman sesuatu pada diri manusia, yang mengacu pada penanaman dan tahapan kepada individu yang mendukung pendidikan itu. Memang objek pendidikan tidak lepas dari pihak yang memberikan ilmu (pendidik) dan keaktifan peserta didik. Jadi menurut Al-Attas pendidikan akan berlangsung pada indivudu yang memang memerlukan serta beranggapan bahwa pendidikan sebagai kebutuhan yang harus didapatkan (mutlak). Karena hakikat ilmu adalah perubahan tindak-tanduk (prilaku) yang memilikinya sehingga kehidupan yang dijalani lebih berkesinambungan dan bermakna sehingga mampu mengemban amanah kekhalifahan di muka bumi.[1]
  1. Fungsi Pendidikan Islam
      Menurut Al-Attas, Universitas (Islam) seharusnya merupakan gambaran dari wujud manusia universal atau “insan kamil”. Al-Attas memaknai insan kamil adalah seseorang yang sanggup menampakkan sifat-sifat ketuhanan dalam prilakunya dan betul-betul menghayati kesatuan esensialnya dengan wujud Ilahiah tanpa harus meninggalkan atau kehilangan identitasnya sebagai seorang hamba dan makhluk ciptaanNya.
     Oleh karena itu universitas Islam, sebagai refleksi insan kamil (manusia universal) dalam wujud dan tujuanya harus memberikan perhatian pada masalah haqq. Al-Attas menerangkan bahwa haqq tidak hanya merujuk pada kebenaran sebuah pernyataan, kepercayaan, dan pertimbangan, tetapi juga pada proporsi hakikat sebuah realitas, singkatnya: “Haqq berarti kesesuaian dengan tuntutan-tuntutan kebijaksanaan, keadilan, kebenaran, kenyataan, dan keseimbangan”.
     Persoalan selanjutnya adalah, sejauh pemikiran Al-Attas, kemana arah sebuah universitas Islam ini akan dibawa, atau sebagai tujuan akhir (aims) keberadaan sebuah universitas itu berdiri. Sejenak kita kembali, pada konsep bahwa universitas harus mencermikan diri manusia, bukan hanya berdasarkan pada asas-asas ontologis sebagaimana diterangkan sebelumnya, melainkan usaha menganalisis istilah-istilah penting yang digunakan dalam proses sejarah universitas.
  1. Tujuan Pendidikan Islam
     Menurut al-Attas Pendidikan yang sebenarnya merupakan serangkaian upaya yang mengantarkan manusia (peserta didik) pada derajat kesempurnaan (insan khamil). Kesempurnaan yang diinginkan oleh Islam bukan hanya didunia atau hanya diahirat saja, melainkan kedua-duanya harus seimbang proporsinya. Singkatnya menjadi khalifah fi ard (memakmurkan dunia) dengan segenap kemampuan dan limit waktu tang tersedia ketika hidup didunia, sehingga mengantarkan pada keselamatan di hari penghisafan (hari pembalasan) nanti.
  1. Subyek Didik
1)      Pendidik
     Adapun sifat utama yang harus ada pada diri pendidik adalah niat yang lurus. Niat yang lurus disini adalah menjalankan tugas/amanah semata-mata sebagai ibadah kepada Allah dan perbuatan yang sangat terpuji dimata peserta didik.
   Pendidik harus berpegang pada asas utamanya sebagai pengemban amanah yang menuntun arah dan tujuan yang hendak dicapai dalam arti yang ideal (sesuai harapan). Sesuai dengan tujuan pendidikan yang diformulasikan Al-Attas, ta’dib ialah pembentukan Akhlak. Maka pendidik harus terlebi dahulu menjadi sosok teladan yang patut, berwibawa, dan taat pada perintah Allah SWt.
2)      Peserta Didik
     Peserta didik juga hendaklah untuk tidak tergesa-gesa dalam mempelajari dan tidak belajar pada sembarang guru, namun perlu adanya menyiapkan waktu untuk mencari siapa guru yang terbaik pada bidang yang digemarinya.
2. Kurikulum
     Kurikulum yang dirumuskan oleh Syekh Muhammad Naquib Al-Attas ini digolongkan pada keutamaan pengauasaan peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikannya. Karena tujuan pendidikan Islam menurut Al-Attas untuk mewujudkan Insan khamil, maka pembelajarannya pun ada yang bersifat fardu ain dan fardu kifayah. Dalam pandangan Al-Attas sturuktur dan kurikulum pendidikan Islam harus menggambarkan manusia dan hahekatnya, hakikat manusia bersifat ganda yaitu aspek fisik dan spiritual.
3. Metode Pendidikan Islam
    Kontek filsafat pendidikan Islam Al-Attas memiliki metode khusus karena relitas tujuan dan makna “adab” pada pendidikan Islam adalah penanaman ta’dib, bukan tarbiyah dan bukan juga ta’lim. Aspek itu adalah: persiapan spiritual, pendidik dan peserta didik, fungsi bahasa, metode tauhid, fungsi panca indra serta metafora dan cerita.
a)        Persiapan Spiritual: Persiapan spitual yang dimaksudkan disini adalah sebagaimana kita kenal dalam Islam setiap tindakan harus didahului oleh niat. Pendapat Al-Attas ini menghendaki adanya niat yang lurus untuk mempelajari ilmu.
b)        Bahasa: Pada kalangan pemikir muslim kontemporer hanya Al-Attas yang baru menyadari pentingnya peranan bahasa sebagai alat dan sarana yang mendasar dalam pendidikan agama dan kebudayaan dan peradapan. Al-Attas selalu menganalisis bahasa dan menjelaskan bahasa secara benar,sehingga makna yang benar mengenai istilah dan konsep kunci Islam yang termuat didalamnya tidak berubah atau dikacaukan.
c)        Metode Tauhid: Salah satu karakteristik dan efistimologis Islam yang dijelaskan secara inklusif dan telah dipraktikkan oleh Al-Attas adalah metode tauhid dalam pencapaian ilmu pengetahuan.
d)       Metafora dan Cerita: Salah satu ciri khas dalam konsepsi pendidikan Al-Attas adalah pada metode pendidikan Islam yaitu penggunaan metafora dan cerita sebagai contoh atau perumpamaan yang disamapaikan secara lisan (ceramah) maupun tindakan, sebuah metode yang juga banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits.
e)        Media, yaitu Panca indera, Ruang belajar, Perpustakaan, Labolatorium
  1. Paradigma Pendidikan Syekh Muhammad Naquib Al-Attas
     Konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Syekh Muhammad Naquib Al-Attas memiliki perbedaan antara pendapat/gagasan yang telah dilontarkan oleh tokoh pendidikan Islam yang lainnya. Perbedaan ini terlihat sangat tajam karena konsep pendidikan Al-Attas menggunakan terma ta’dib, sehingga banyak unsur lain seperti orientasi (tujuan) dan metode juga ikut mewarnai perbedaan tersebut, perbedaan seperti ini sepatutnya dipandang sebagai hikmah akan keluasan khazanah (wawasan) yang tersimpan dalam kajian Islam.
     Pendidikan yang diidamkan Al-Attas adalah pendidikan yang menelurkan alumnus yang memiliki out put yang berwawasan luas serta mampu memfilter antara kepentingan dunia dan keharusan memperhatikan bekal untuk alam akhirat. Singkatnya pendidikan yang dilontarkan Al-Attas tidak menutup diri terhadap kemajuan zaman, namun tetap berpegang pada dasar-dasar yang dimiliki pada prinsip Islam.
  1. Relevansi Konsep Pendidikan Syekh Muhammad Naquib Al-Attas Pada Era Sekarang
     Berawal dari munculnya filsafat pragmatisme yang mendapat inspirasi dari John Dewey, telah mengubah arah orientasi pendidikan. filsafat pragmatisme telah mengabaikan konsep-konsep kebenaran dan menggantikannya dengan kegunaan, pengaruh tersebut selalu terus berjalan yang akhirnya terwujudlah manusia-manusia yang menghancurkan konsep keagungan dan kemuliaan manusia dengan Tuhannya dan alam.
    Terhadap tantangan-tantangan yang sedang dihadapi dunia pendidikan Islam dewasa ini, ternyata konsep pendidikan yang digagas Al-Attas adalah berusaha untuk menjawabnya. Al-Attas muncul pada era yang telah mengalami kemajuan zaman modern (canggih) yang nota bene seluruh aspek kehidupan telah berhubungan dan tersentuh oleh teknologi dan sains.
   Melalui padangan filosofisnya, Al-Attas telah berhasil mendiagnosa penyebab kemunduran umat Islam di zaman ini. Persfektif yang menyatakan bahwa hancurnya umat Islam bukan disebabkan karena kemunduran dibidang ekonomi, politik dan sebagainya. Namun persoalan yang lebih fundamental adalah kehancuran pada tingkatan metafisis, dimana umat Islam telah mengalami yang namanya corruption of knowledge (koropsi ilmu pengetahuan), keadaan inilah yang menyebabkan umat Islam kehilangan sebuah pijakan pada tradisi keilmuan yang gemilang tersimpan.
    Perlu kembali ditegaskan, bahwa tujuan mencari ilmu pengetahuan pada puncaknya adalah untuk menjadi manusia-manusia yang baik, dan bukan menjadi seorang warga negara yang baik, karena itu pendidikan mencerminkan manusia bukan negara. Menurut Islam, manusia seperti itu (Insan al-Kamil) itu telah ternyatakan pada diri Nabi Muhammad.[2]
  1. Paradigma Pemikiran Attas
1)      De Westernisasi dan Islamisasi
    Tema de westernisasi mempunyai arti pembersihan dari westernisasi. Jika westernisasi dipahami sebagai pembaratan, maka de westernisasi merupakan upaya pelepasan dari suatu proses pembaratan.
      Pada dasarnya upaya de westernisasi merupakan pemurnian ajaran islam dari segala pengaruh barat. De westernisasi sama dengan pemurnian ajaran islam yang dilakukan oleh Muhammad Bin Abdul Wahab mengarah pada ajaran islam yang meliputi tauhid dan syariah. Pada saat itu kemurnian tauhid masyarakat talah dirusak oleh ajaran tarekat sejak abad ke-13.
     Antara gerakan wahabi dan pemikiran Al-Attas mempunyai karakteristik yang sama, yakni pemurnian ajaran islam akan tetapi mempunyai berbagai perbedaan.
a)   Tentang objek dan sasaran.Bila wahabi memberantas noda yang mengotori ajaran tauhid, maka de westrnisasi yang dikembangkan Al-Attas mempunyai sasaran membersihkan noda yang mengotori ilmu pengetahuan.
b)  Sikap terhadap praktek sufi. Bila wahabi bersikap keras terhadap praktek sufi yang melembaga menjadi tarekat. Maka de westrenisasi justru berangkat dari pemahaman secara mendalam terhadap praktek sufi tersebut.
c)   Titik berangkat. Bila wahabi berangkat dari tindakan menyimpang yang bersifat praktis, maka de westrenisasi berangkat dari issue pemikiran yang bersifat teoritis.
       Dari pernyataan diatas Al-Attas dapat disimpulkan bahwa proses de westrenisasi, yang harus dikendalikan itu adalah manusianya. Manusia harus membentuk karakteristiknya supaya tidak mudah terpengaruh oleh pengaruh barat. Yang mana pengetahuan itu harus dikonsepsikan, dievaluasi, dan ditafsirkan sesuai dengan pandangan tertentu. Dari pernyataan diatas yang dijadikan tumpuan umat bagi Al-Attas adalah manusia itu sendiri.
          Perbedaan pendapat para ahli tentang de westrenisasi:
      Faruqi menekankan pada objek islamisasi itu sendiri yaitu disiplin ilmu modern, tetapi harus disesuaikan dengan ajaran islam dan pandangan islam, sedangkan Al-Attas mengarah kepada subjek dari islamisasi tersebut yakni manusianya.
Dasar pemikiran Al-Attas adalah sebagai berikut:
a)            Posisi umat islam saat ini pasca keruntuhan paham sosialis komunis.
b)            SDM merupakan asset yang paling dominan, dalam mengembangkan nilai-nilai yang islami.
c)            Mempunyai pandangan pengamalam nilai-niai Islam tergantung pada manusianya.
2)      Metafisika dan Epistimologi
a)      Metafisika Islam
Berangkat dari paham teologisnya, dalam hal ini terdapat tiga angkatan yang bersifat hirarkis.
(1)   Mubtadi’ berkisar pada masalah moral dan adab
(2)   Mutawwasith mendalami dan mengamalkan wirid dan zikir mengenai kuantitas, kualitas, tempo dan frekuensi ditentukan oleh musyrid.
(3)   Muntahiy guru memasuki dunia filsafat dan metafisika.
Seorang guru harus memiliki tiga pegetahuan yaitu:
(1)   Al hikmah dan al illahiyah yaitu kebijaksanaan ketuhanan
(2)   Naqliyah atau syariah yaitu ilmu naqliyah atau syariah.
(3)   Al-ulum al aqliyah yaitu ilmu rasional
Paradigma pemikiran yang dirawakan oleh Al-Attas bukan hanya rasional, empiris dan filosofis saja, tapi juga meliputi yang intuitif, metaempiris dan filosofis.
b)      Inti Asumsi Metode Epistimologi Modern
Metode ini berkaitan dengan pengembangan sains yang mencakup ilmu alam, matematika, teori alam semesta, manusia dan filsafat. Metode yang dikembangkan adalah sebagai berikut:
(1)   Nasionalisme filosofis yang cinderung kepada inderawi.
(2)   Rasionalisme bersandar pada pengalaman inderawi dan menyangkal otoritas serta intuisi.
(3)     Empiris filosofis/ logis mengacu pada logika dan analisis bahasa.
c)      Sumber dan Metode Eptismologi Islam
(1)   Indera-indera lahir batin
Terkait dengan panca indera, Al-Attas ada lima indera batin, yaitu:
(a)    Indera bersama, yang berhubungan dengan menangkap segala yang ditangkap kelima indera lahir.
(b)   Representasi, indera batin yang menyimpan hasil abstraksi ndera bersama.
(c)    Estimasi, indera batin yang mampu membentuk opini, yag didasrkan pada penafsiran instinktif.
(d)   Rekoleksi, menyimpan hal-hal abstrak yang telah diterima oleh estimilasi.
(e)    Imaginasi, menjadi penhubung antara jiwa dan binatang.
(2)   Akal dan intuisi
Akal terbatas pada pengalam inderawi, sedangkan intuisi terbatas pada objek yang diberikan. Intuisi bersumber dari akal dan berimplikasi pada otoritas ilmu pengatahuan.[3]
  1. ISMAIL RAJ’I AL-FARUQI
  1. Riwayat hidup Al Faruqi
Al Faruqi dilahirkan di Yaifa (Palestina) pada 1 Januari 1921. Latar belakang pendidikan Al Faruqi adalah pendidikan Barat. Menurut pandangan Al-Faruqi umat Islam sekarang berada dalam kebodohan karena mereka hanya percaya kepada pemimpin mereka sehingga tidak ada kreatifitas untuk mengembangkan syariat Islam. Kemunduran dalam berbagai bidang, sehingga mereka lebih bangga dan tergoda dengan kemajuan Barat, sehingga mereka lebih menyukai cara-cara Barat dan menjadikannya acuan dalam kehidupan. Karena keadaan tersebut, integritas kultur Islam menjadi terpecah dalam diri mereka sendiri, terpecah dalam pemikiran, perbuatan, rumah tangga dan keluarga mereka.
Masalah tersebut terjadi akibat problema pendidikan kaum muslim. Pendidikan membawa kemajuan, sebaliknya pendidikan juga bisa menciptakan ketimpangan dan kemunduran bagi umat Islam karena pendidikan sekarang lebih cenderung menjauhkan umat Islam dari hakikat Islam itu sendiri.
Untuk mengembalikan umat Islam pada konsep keagamaan maka kita harus kembali lagi kepada ajaran tauhid dan merubah pandangan Islam untuk kembali kepada pandangan hidup yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah. Inilah yang menjadi sumber pokok pemikiran Al-Faruqi tentang konsep pendidikan Islam bahwa pendidikan itu harus bersumber dari ajaran tauhid yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan hadits.[4]
  1. Pokok-pokok pemikiran al-faruqi
Al-Faruqi banyak mengemukakan gagasan serta pemikiran yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh Umat Islam. Dan semua pemikirannya itu saling terkait satu sama lain, semuanya berporos pada satu sumbu yaitu Tauhid. Diantaranya pemikiran Al-Faruqi yang terpenting adalah:
  1. Tauhid
Masalah yang terpenting dan menjadi tema sentral pemikiran Islam adalah pemurnian tauhid, karena nilai dari keislaman seseorang itu adalah pengesahan terhadap Allah SWT yang terangkum dalam syahadat. Upaya pemumian tauhid ini pun telah banyak dilakukan oleh para ulama terdahulu, diantaranya kita mengenal adanya gerakan wahabiyah yang dipimpin oleh Muhammad bin abdul Wahab. Menurutnya kalimat “tauhid” tersebut mengandung dua arti yang pertama “nafi” (negatit) dan kedua: itsbat (positif) laa ilaaha (tiada Tuhan yang berhak diibadahi) berarti tidak ada apapun; illaahi (melainkan Allah) berarti yang benar dan berhak diibadahi hanyalah Allah Yang Maha Esa yang tidak ada sekutu bagiNya dan secara gamlang di dalam bukunya Kitab At-tauhid beliau menyebutkan setiap tahyul. Setiap bentuk sihir, melibatkan pelaku atau pemanfaatannya dalam syirik adalah pelanggaran tauhid.
  1. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Pada hakekatnya ide Islamization of knowledge ini tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Islam di zaman moderen ini. Ide tersebut telah diproklamirkan sejak tahun 1981, yang sebelumnya sempat digulirkan di Mekkah sekitar tahun 1970-an. Ungkapan Islamisasi ilmu pengatahuan pada awalnya dicetuskan oleh Syed Muhammad Naguib Al-Atas pada tabun 1397 H/1977 M yang menurutnya adalah “desekuralisasi ilmu”. Sebelumnya Al-Faruqi mengintrodisir suatu tulisan mengenai Islamisasi ilm-ilmu sosial. Meskipun demikian, gagasan ilmu keislaman telah muncul sebelumnya dalam karya-karya Sayyid Hossein Nasr. Dalam hal ini Nasr mengkritik epistemologi yang ada di Barat (sains moderen) dan menampilkan epistemologi prespektif sufi.
     Menurut Al-Atas islamisasi ilmu merujuk kepada upaya menggilimunir unsurunsur, konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Dengan kata lain Islamisasi idiologi, makna serta ungkapan sekulerIde tentang islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi berkaitan erat dengan idenya tentang tauhid, hal ini terangkum dalam prinsip tauhid ideasionalitas dan teologi. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa adalah fakultas pemahaman yang mencakup seluruh fungsi gnosologi seperti ingatan, khayalan, penalaran, pengamatan, intiusi, kesabaran dsb. Manakala kehendak-kehendak tersebut diungkap dengan kata-kata secara langsung oleh Tuhan kepada manusia dan manakala sebagaimana pola Tuhan dalam penciptaan atau “hukum alam”. Dan bila kita kaitkan dengan prinsip telelogi artinya dunia memang benar-benar sebuah kosmos suatu ciptaan yang teratur, bukan chaos. Di dalam kehendak pencipta selalu tewujud. Pemenuhan karena pemestian hanya berlaku pada nilai Elemental atau utiliter, pemenuhan kemerdekaan berlaku pada nilai-nilai normal dan bila kita kaitkan dengan Barat maka nilai-nilai ini banyak diabaikan oleh Barat.